PERANG FRONT LANGKAN



Front Langkan dibentuk oleh tentara Republik Indonesia karena Belanda menyerang TRI terus menerus kepada Palembang hingga ke pedalaman sekitarnya termasuk perairan Banyuasin. Wilayah Langkan sendiri menjadi sangat strategis bagi perjalanan
pasukan Belanda menuju Sekayu, Musi Rawas maupun Jambi,karena perairan tersebut merupakan jalur yang harus diamankan guna menutup pergerakan Belanda. Oleh karena itu front Langkan menjadi sangat penting untuk mematahkan jalur bebas perjalananBelanda masuk melalui hubungan darat menuju daerah-daerah dimaksud.
Front Langkan merupakan garis pertahanan TRI di front kiri yang resmi dibentuk TRI tanggal 15 Februari 1947. Front ini memiliki Seksi Istimewa dengan nama Batalion XXX Resimen XLV yang dipimpin oleh Letnan Muda A. Kosim Dayat dengan Wakilnya Sersan Mayor OM Muksin Samsudin.
Batalion XXX terdiri dari empat regu yaitu:
Regu I: Sersan Satu A. Karim Umar Hasan
Regu II: Sersan Satu Nazori
Regu III: Sersan Satu Husin Thamrin
Regu IV: Sersan Satu Was’an.
Batalion XXX pada mulanya dipimpin oleh Kapten Animan Achyat tapi kemudian sejak 17 Juli 1947 diserahterimakan kepada Kapten Oesman Bakar. Front Langkan menetapkan perbekalan dan perlengkapan Batalion XXX dipusatkan di Pangkalan Balai yang dikirim atas perintah Mayor Saroinsong dari Palembang.
Perbekalan dan perlengkapan itu dibawa oleh Letnan Muda ALRI Juaini Ahmad yang sering dibantu rakyat Kenten sampai ke Pangkalan Balai. Sementara jika TRI terjadi kekurangan bahan makanan dibantu oleh Pesirah Lubuk Lancang yang menyuruh Zaini
Makbud beserta anak buahnya pergi mencari bahan-bahan yang diperlukan ke Dusun Biyuku, Tanjung Laut dan Serdang. Tetapi semua seksi dipersiapkan di garis terdepan front Langkan.
Hikmah dari keberadaan front Langkan dan rakyat membantu perjuangan TRI di front Langkan ini menunjukkan rakyat Banyuasin juga ikut berjuang mengusir Jepang dan Belanda dengan caratersendiri.
Masyarakat Banyuasin yang saat itu masih bergabung dengan Kabupaten Musi Banyuasin walaupun tidak melalui “angkat senjata” berperang melawan penjajah, tetapi sering mengulurkan bantuan kepada tentara Indonesia di front Langkan dalam bentuk makanan seadanya. Taktik mereka memberikan makanan antara lain dengan sambil berpura-pura akan ke kebun dan ladang.
H. Kaharuddin Aziz, tokoh masyarakat Banyuasin, mengisahkan ketika dia masih kecil tinggal di Pangkalan Balai, banyak orang yang sering mengantarkan nasi bungkus ke front Langkan untuk para pejuang meskipun jaraknya sekitar tujuh kilometer dari Pangkalan Balai. “Kami anak-anak sering ikut ramai-ramai bersama orang-orang yang akan mengantarkan nasi bungkus kepada para pejuang di Langkan itu. Seingat saya; Kami beberapa kali ikut mengantarkan nasi bungkus ke Langkan,” tegas Kaharuddin Aziz.
Gambaran lain yang diperoleh Kaharuddin Aziz ketika ikut mengantar nasi bungkus ke markas front Langkan. Pada saat itu terdapat markas pertahanan di Langkan dan rumah-rumah yang dijadikan mess pasukan TRI, sedangkan di salah satu sudut terdapat menara terbuat dari kayu setinggi 10 meter. Bantuan memberikan makanan ini tidak saja datang dari Pangkalan Balai, tetapi juga dari penduduk luar Langkan membantu memberikan makanan pada pembela kemerdekaan Indonesia di Langkan itu.
Perjuangan masyarakat Banyuasin lain datang dari Laskar Napindo yang dipimpin H. Bujang dan Matjik Maenan yang bertugas menjaga tepi Sungai Musi di sekitar Langkan. Hal ini diperlukan untuk menjaga agar tidak ada pasukan Belanda yang masuk melalui Sungai Air Asin. Selain itu juga ada Laskar Hisbullah pimpinan A. Toyib dan Sahulik sebagai pasukan cadangan untuk memantapkan penjagaan di Front Langkan. (Hambali Hasan dkk., Sejarah Rakyat dan Pemerintahan Kabupaten Banyuasin, 2007-2008; 74)
Pada daerah perbatasan juga dibentuk satu regu tangguh dengan kemampuan berenang yang banyak memantau sekitar Sungai Musi. Regu istimewa ini personilnya antara lain Sersan Mayor Muksin Syamsuddin selaku Komandan dengan beberapa anggota seperti Sersan Nazori, Sersan M. Diah, Sersan A. Zaini, Kopral Pahri, Kopral Nur Muhammad, Prajurit Satu Syamsudin, Prajurit Satu Zainudin, Prajurit Satu Zainuri, Prajurit Satu A. Muzir.
Pertahanan Palsu, Pertahanan Sebenarnya
Front Langkan merupakan wilayah penting dalam pertahanan TRI karenanya pembentukan wilayah ini sangat difokuskan. Tokoh masyarakat Banyuasin H. Kaharuddin Aziz menyebutkan lokasi Front Langkan saat dibentuk memang strategis terdiri dari hutan lebat memiliki alur sungai dan jembatan-jembatan serta memiliki banyak jalur keluar (untuk pelarian) yang hanya diketahui oleh tentara Indonesia dan rakyat Banyuasin sehingga dinilai sangat strategis dijadikan front pertahanan.
Guna mengefektifkan tujuan didirikannya front ini maka dibentuklahdua kubu pertahanan yang disebut kubu pertahanan palsu dan kubu pertahanan yang sebenarnya. Ini dilakukan sebagai taktik untuk mensiasati kekuatan Belanda yang sewaktu-waktu menyerang dengan persenjataan lengkap sementara kelengkapan persenjataan tentara Indonesia dan rakyat Banyuasin serba terbatas.
Kubu pertahanan palsu dibuat di wilayah yang banyak dilalui masyarakat maupun mata-mata Belanda. Kubu ini tidak terlalu diperkuat dengan tujuan untuk mengecoh pasukan Belanda sehingga mereka tertipu, seolah-olah pertahanan pasukan TRI berada di daerah yang mereka pertahankan. Bentuk pertahanannya antara lain dibuat pos pertahanan di pinggir jalan raya seperti yang ada di sekitar satu kilometer dari pos Belanda di Dusun Pulau. Pola pertahanan lain di kubu palsu ini sengaja melalui jalur aliran minyak milik perusahaan Belanda yaitu di daerah Keluang dan Supat. Jalur ini dijadikan jalur palsu bila nanti sewaktu-waktu diperlukan jalur minyak Belanda itu dapat dibakar sehingga menghambat pergerakan tentara Belanda.
Sementara kubu pertahanan yang sebenarnya terletak di kawasan Air Pucung yang lokasinya sangat dirahasiakan dilengkapi dengan lubang-lubang perlindungan dalam tanah dan lubang komando antarregu. Lubang-lubang berukuran lebar 0,5 meter dengan kedalaman satu meter dan panjangnya 100 meter itu terletak di pinggir jalan dari Palembang menuju Sekayu dan menembus ke mana-mana.
Para anggota Batalion memanfaatkan lubang perlindungan itu sebagai persembunyian guna melakukan penyerangan mendadak terhadap pasukan Belanda. Penyerangan dari lubang-lubang pertahanan ini dipimpin oleh Sersan Satu Yusuf Jepang.
Lubang-lubang perlindungan ini menurut tokoh masyarakat Desa Langkan Dusun II, H. Daud Rusdi, digali buruh-buruh BPP (Badan Pembantu Pemerintah) Jepang dengan pola kerja paksa. Lubang-lubang itu memakan banyak korban rakyat Banyuasin dan
buruh datangan dari Jawa karena bekerja dipaksa dengan susah payah oleh Jepang. “Banyak yang mati, entah mati kelelahan, atau karena kelaparan, pokoknya kalau mati ya dibiarkan saja oleh Jepang,” kata H. Daud Rusdi yang mengetahui hal ini mendengarkan cerita dari pamannya, seorang tentara pejuang pada perang front Langkan bernama Abdurrahman Semak.
Lubang-lubang perlindungan itu bersifat rahasia muaranya penuh dengan semak-semak. Pada tahun 1980an lubang perlindungan itu masih bisa dilihat posisinya berada 200 meter dibelakang rumahrumah warga sekarang, namun karena banyaknya pembangunan pemukiman warga dan lahan sekitarnya dijadikan kebun karet oleh rakyat, maka lubang-lubang tersebut hilang dengan sendirinya.

Perang Heroik Dimulai
Front Langkan sebenarnya sejak bulan Mei 1947 sudah diserang Belanda. Insidennya saat itu tiga tentara Belanda masuk ke Langkan menggunakan mobil jeep langsung menembaki pos front Langkan lantas mobil dan tentara Belanda itu langsung menghilang.
Pancingan ini menunjukkan tanda-tanda akan ada serangan dari pihak Belanda. Setelah bulan Mei, Sersan Mayor Ahmad Syarnubi beserta dua orang anak buahnya memeriksa garis demarkasi dan tentara Belanda telah lama mengintai di sana terjadilah lagi tembak menembak lebih kurang lima menit dan nasib tak beruntung bagi Prajurit Satu Sujar terkena peluru yang menggores bahunya dan terpaksa dibawa ke rumah mantri kesehatan Mabidin untuk diobati.
Tembak menembak seperti ini sering terjadi kemudian Belanda melancarkan serangan bertubi-tubi secara serentak pada tanggal 21 Juli 1947 melalui semua jalur; darat, sungai maupun udara dengan menggunakan pesawat udara. Pada hari itu sedang bulan puasa. Belanda mulai menyerang malam hari melalui jalur darat ketika menjelang fajar hingga besok harinya.
Sasaran Belanda menyerang lokasi pertahanan di Langkan dan Tebing Abang. Suara dentuman malam bulan puasa itu menurut H. Kaharuddin Aziz terdengar sampai rumahnya di Pangkalan Balai yang jaraknya sekitar tujuh kilometer pada saat masyarakat masih tadarusan mengaji malam bulan ramadhan. Tentara Indonesia malam itu juga memberitahu kepada masyarakat untuk bersiapsiap dan berhati-hati karena Belanda melakukan penyerangan.
Serangan darat dilakukan Belanda melalui Desa Pulau. Salah satu pelaku yang mengikuti pertempuran itu adalah A. Karim Hasan Umar. Pasukan Belanda kemudian bergerak melancarkan serangan jam 06.00 paginya menyerang Langkan besar-besaran dengan kekuatan tank, senjata berat, meriam howitzer dan mortar, namun pasukan Belanda terjebak dalam ranjau anti tank milik TRI. Bagi Front Langkan ini betul-betul perang heroik yang dahsyat.
Beberapa laskar gugur dalam pertempuran ini antara lain; Ba’it bin Guyut, Sahiman bin Durrahman, dan Lanang bin Kecik Djamasida.
Sementara gerakan pasukan Belanda juga datang dari Sungai Musi melewati Pengumbuk dan Tebing Abang yang dipertahankan pasukan Hizbullah diterobos oleh motor boat Belanda. Situasi serangan jalur sungai ini bisa ditembus Belanda karena pasukan mereka didukung oleh pesawat taktis dan pasukan Belanda melalui jalur darat lainnya dari Talang Betutu Palembang.

Menjadi Lautan Api
Serangan dahsyat pasukan Belanda dari berbagai jalur dengan menggunakan senjata lengkap membuat pasukan TRI terpaksa harus mundur teratur sambil melakukan pembakaran jalur minyak milik eks perusahaan Belanda di pertahanan palsu
sehingga Sungai Langkan menjadi lautan api.
Tambahan pasukan TRI yang gugur saat itu adalah Sersan Satu Yusuf Jepang, Usman dan Kopral A. Hamid, yang merupakan mantan tentara Jepang yang membelot membela Indonesia dan ikut dalam perang Langkan.
Setelah ada pasukan yang gugur, sementara kekuatan pasukan Belanda semakin kuat, membuat pimpinan pasukan Indonesia memilih mundur dari Front Langkan ke Pangkalan Balai kemudian mundur lagi ke Lubuk Lancang.
Tanggal 22 Juli 1947 pasukan Indonesia diserang lagi oleh pesawat udara dan infantri Belanda sehingga harus mundur lagi sejauh- jauhnya sampai ke Desa Epil, Musi Banyuasin. Front Langkan dan sekitarnya diserang Belanda berdasar hitungan waktu diserang selama satu hari satu malam.
Serangan dilancarkan dari jam satu malam dan baru bisa ditaklukkan besok sorenya. Warga dan para pejuang saat itu melakukan aksi bumihangus hingga beberapa dusun hangus seperti Pangkalan Panji, sementara Pangkalan Balai hanya sebagian yang dihanguskan akibat dihantam serangan-serangan senjata Belanda.
Pasukan TRI tetap tidak mau menyerah begitu saja meski sudah diserang Belanda habis-habisan. Hari berikutnya pasukan TRI dan anggota laskar melakukan perusakan jembatan-jembatan dengan tujuan memutuskan jalur jalan yang akan dilalui Belanda guna menghambat ruang gerak mereka untuk menghabisi pasukan Indonesia. Selain itu juga dilakukan lagi pembakaran minyak-minyak mentah yang sudah dialirkan di sungai-sungai sehingga api kembali membara di aliran sungai. Belanda menjadi repot dibuat siasat seperti ini sehingga pasukannya disibukkan untuk melakukan hal lain diantaranya mengebom tambang minyak di Keluang.
Penghambatan terhadap pasukan Belanda ini dilakukan TRI mulai dari Pangkalan Balai, Lubuk Lancang, Lubuk Karet, Betung dan Lais. Perlakuan menghambat gerakan pasukan musuh ini diperlukan bagi pasukan TRI untuk menyusun strategi dan kekuatan
kembali diantaranya dengan membentuk front-front baru seperti di Sungai Guci, front Muara Teladan, dan front Sungai Keruh Tebing Bulang yang saat itu dikomandoi oleh Kapten Makmun Murod di Dusun Bailangu sekitar 5 kilometer dari Sekayu.
Sementara itu Betung yang sudah hampir dikuasai oleh Belanda kembali bangkit. Pasukan TRI kembali bersemangat akan merebut kembali Betung. Komandannya dipimpin oleh Kapten Oesman Bakar yang menyusun strategi perang untuk menyerang pasukan Belanda di Betung.
Kapten Oesman Bakar dengan kekuatan 100 pasukan bersenjata lengkap memiliki kekuasan dua seksi yakni Seksi 1 dipimpin oleh Pembantu Letnan Kosim Dahayat dan A. Gatam Idrus. Pasukan ini bergerak sekitar pukul 10.00 malam dan bertemu dengan pasukan Belanda, pertempuran terjadi Belanda kalah dan mundur. Pasukan TRI masuk ke Betung dan Lubuk Karet langsung membangun pertahanan dalam wilayah Betung dan sekitarnya. Belanda merasa kalah di malam harinya sambil mundur ternyata menyerang kembali pada pagi harinya pukul 07.00. TRI dipimpin Kosim Dahayat dan A. Gatam Idrus yang berjuang mati-matian menghadapi Belanda bertempur empat jam saling uji kemampuan menyerang hingga pukul 11.00 siang akhirnya mundur terpaksa
masuk Dusun Bailangu.
Untuk mengatur pertahanan selanjutnya, Kosim Dahayat memindahkan basis pertahanannya ke Sungai Guci yang tidak jauh dari Bailangu, namun ketika di Sungai Guci, komando langsung dipegang Kapten Makmun Murod dibantu oleh Letnan Dua Wahid Udin.
Front Langkan kemudian melanjutkan perjuangannya dengan basis barunya yaitu di wilayah Bailangu dan Sekayu Musi Ilir (sekarang menjadi Musi Banyuasin). Dua daerah yang terus menerus diincar Belanda yakni daerah Langkan dan Pangkalan Balai terus dipantau pergerakannya oleh pasukan Belanda karena dukungan laskar bantuan serangan dari masyarakat daerah ini selalu merepotkan tentara Belanda.
Banyak masyarakat Langkan sebenarnya yang ikut langsung dalam perang mempertahankan front Langkan berjuang bersamasama TRI untuk menghadapi Belanda pada tahun 1947 itu. Namun sayang belum ada data secara khusus yang mencatat nama-nama mereka untuk dibukukan dalam sejarah.
Menurut H. Daud Rusdi (69 tahun), seorang tokoh masyarakat Langkan di Dusun 2, RT 02, Desa Langkan setidaknya ada tiga putra asli Desa Langkan yang ikut langsung dalam Perang Langkan kemudian mereka aktif menjadi anggota TNI sampai akhir hayatnya. Tapi mungkin masih ada nama-nama lain yang belum dihimpun secara khusus.
Ketiga putra asli Langkan itu adalah Rahman Semak (paman Daud Rusdi), kelahiran Dusun I Langkan yang terakhir berpangkat Peltu diakhir pengabdiannya menjabat Ketua LVRI Banyuasin yang dimakamkan di pekuburan umum di Banyuasin. Rahman Semak ini pulalah yang mengusulkan kepada Panglima TNI untuk pembebasan tanah di lokasi perang heroik front Langkan kemudian dibuat tugu perjuangan rakyat dan TRI di Desa Langkan.
Kemudian putra asli Desa Langkan dari Dusun II bernama Muhammad Said terakhir pangkat kapten. Selama menjadi TNI dia tinggal dan meninggal di Palembang kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Palembang.
Ketiga adalah Nanung, warga Desa Langkan Dusun I pangkat terakhir sersan selama menjadi TNI dan meninggalnya di Palembang dimakamkan di Taman makam pahlawan Palembang. Ketiga warga Desa Langkan itu menurut Daud Rusdi juga ikut berjuang memberantas gerombolan PRRI tahun 1962.
Selain ketiga orang tersebut ada tiga lagi putra asli Desa Langkan yang ikut mempertahankan front Langkan, tetapi mereka tidak meneruskan sebagai Tentara Nasional Indonesia antara lain Bahman warga Dusun II Desa Langkan dan Said Bandar serta Oni Yasin yang merupakan kelahiran Dusun I Langkan.

Sumber: Buku Sejarah, Khasanah Budaya dan Profil Potensi Kabupaten Banyuasin, Cetakan Pertama, 2014. Penerbit: Dinas Pariwisata, Seni Budaya, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan.


Komentar

Postingan Populer