PENDUDUK BANYUASIN




1.    PENDUDUK ASLI MELAYU
Masyarakat umumnya menyebutkan penduduk asli Banyuasin hampir sama dengan warga Sumatera lainnya. Mereka menjelaskan bahwa orang asli Banyuasin adalah suku Melayu kelompok manusia yang pertama menetap di Banyuasin. Warga mempertegas yang menjadi ciri utama orang Melayu Banyuasin adalah patuh dan setia. Mereka selalu bermusyawarah dan mufakat setiap ada sesuatu yang penting. Falsafah hidupnya beragama Islam dan menggunakan bahasa Melayu. Semuanya ini ada dalam perkembangan sejarah kehidupan masyarakat Banyuasin.
Sejalan dengan pendapat itu di kawasan Sumatera memang dikenal adanya etnis Melayu. Dalam Buku Sejarah Rakyat dan Pemerintahan Kabupaten Banyuasin (H. Hambali Hasan, dkk; 2007/2008) disebutkan bahwa suku Melayu meliputi hampir di setiap pelosok daerah.
Mereka apabila ditanya selalu menyatakan dirinya sebagai Keturunan Melayu, Orang Melayu, Adat Melayu, Sopan Santun Melayu. Ditegaskan bahwa. daerah hunian orang Melayu itu ialah Pesisir Timur Sumatera sampai ke Pesisir Timur Palembang. Bersamaan sejarah bahwa . tahun 671-672 Masehi ketika I-Tsing untuk kedua kalinya datang ke Melayu dikatakan bahwa Mo-lo-yu sekarang sudah menjadi Shih-li-fo-shih atau Negeri Sriwijaya. Selanjutnya keberadaan Sriwijaya dipertegas “… pada tanggal 5 Ashoka tahun 605 (683 Masehi) Dapunta Hyang mendirikan Sriwijaya… mengalami masa keemasannya dari abad VII sampai dengan abad XII… pada abad ke XVI… Kerajaan Sriwijaya runtuh. utusan dari Majapahit Ario Damar melanjutkan kekuasan dan pemerintahan di Kadipaten Palembang.
Tanda kemunduran Kerajaan Sriwijaya yang akhirnya runtuh di bawah Kerajaan Majapahit dimulai abad 13 sampai abad 14 itu dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya:
a.    Pada tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, dari Dinasti Chola di Koromande, India Selatan melakukan serangan yang membuat armada perang Sriwijaya tunduk dan membuat perdagangan di wilayah Asia-Tenggara jatuh pada Raja Chola. Namun Kerajaan Sriwijaya masih berdiri.
b.    Melemahnya kekuatan militer Sriwijaya, membuat beberapa daerah taklukannya melepaskan diri sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
c.    Melemahnya Sriwijaya juga diakibatkan oleh faktor ekonomi. Para pedagang yang melakukan aktivitas perdagangan di Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang karena daerah-daerah strategis yang dulu merupakan daerah taklukan Sriwijaya jatuh ke tangan raja-raja sekitarnya.
d.    Munculnya kerajaan-kerajaan yang kuat seperti Dharmasraya yang sampai menguasai Sriwijaya seutuhnya serta Kerajaan Singhasari yang tercatat melakukan sebuah ekspedisi yang bernama ekspedisi Pamalayu.
Setelah Kerajaan Sriwijaya (Palembang) dan Melayu (Jambi) pudar karena serangan Kerajaan Majapahit dari Jawa pada tahun 1365 Masehi, maka orang dari Jawa menguasai kehidupan Palembang dan Jambi seperti yang dilaporkan penulis Poturgis, Tome Pires: “Jambi kini di bawah Patih Rodim, raja Demak… penduduk Jambi sudah lebih mendekati penduduk Palembang yaitu lebih kejawaannya dari kemelayuannya… tetapi… bahasa Melayu lebih menjadi Lingua Franca di Nusantara sejak disebarkan oleh Imperium Maritim Sriwijaya dan Melayu sejak abad 6 Masehi termasuk adat istiadat raja-rajanya yang dibawa Parameswara ke Malaka di tahun 1400 Masehi… setidaknya sekarang ini, orang Jambi dan Palembang, terutama yang tinggal di daerah pesisir Selat Malaka masih disebut orang Melayu.
Para tokoh masyarakat menyatakan sama dengan sifat orang Melayu lainnya, Melayu Banyuasin memeluk agama Islam dan memakai bahasa Melayu memiliki keturunan yang baik, bersifat ramah, saling kasih sayang dan mereka menempati Pesisir Palembang dan sekitarnya.
C. Van Lekkerker, dalam buku “Landen Volk Van Sumatera,” tahun 1916, menyebutkan pula bahwa: “… orang Melayu juga disebut orang Jawi… orang Melayu lebih dari segala suku-suku di Nusantara… orang Melayu ini ditandai paling suka mengembara, berpindah kemana-mana, mendirikan koloni, kampung hunian… memasukkan bahasa Melayu ke bangsa-bangsa lain sehingga bahasa Melayu menjadi bahasa pergaulan di seluruh Indonesia.”
Sama halnya dengan orang Melayu di Pekanbaru Riau, orang asli Melayu Banyuasin menjunjung tinggi nilai-nilai hukum Islam. Mereka masuk Banyuasin dan menetap melalui Sungai Musi di Sungang menelusuri masuk sungai-sungai di sekeliling kehidupannya dan ada diantara mereka masuk sebagai pedagang sambil menyebarkan agama Islam dan mengajarkan bahasa Melayu sebagai sarana komunikasi. Sedangkan sungai-sungai tersebut adalah Sungai Air Banyuasin, Air Lalan, Air Upang, Air Tebing dan Air Padang. Di sini kehidupan mereka sebagai nelayan kemudian berevolusi jadi petani dan berkebun tanaman tahunan seperti karet.
Menurut tokoh masyarakat Banyuasin asal Pangkalan Balai kelahiran 1934, Muhammad Basri bin Muhammad Amin alias Bas M. Amin, yang pada tahun 1960-an menjadi agen terbesar pengadaan sembako dan konveksi di Pangkalan Balai serta tiga periode menjabat anggota DPRD Tingkat I Sumatera Selatan (1967-1982) dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), penduduk Melayu Banyuasin menetap di sepanjang pinggiran sungai membuat rumahrumah yang bertiang pohon-pohon nipah.
Asal usul mereka ini terdiri atas tiga jenis. Pertama, pelarian pasukan Kerajaan Sriwijaya (orang Palembang) pasca runtuhnya kejayaan Sriwijaya. Kedua, mereka yang langsung datang dari Malaka pascajatuh ke Portugis. Ketiga, penduduk asli Banyuasin yang berada di sebelah utara sampai ke Jambi yaitu penduduk asli Banjoeasin en Koeboe Strekken (warga Kubu sudah maju) untuk sebutan penduduk asli di zaman kolonial Belanda yang diperkirakan datang melalui daratan sebelum wilayah mereka masuk ke Kabupaten Musi Banyuasin.
Mereka dari tiga asal usul penduduk Banyuasin ini hidup beradaptasi dengan lingkungan sungai sebagai bagian penting dari sumber kehidupannya dengan mata pencaharian sebagai nelayan, bertani dan bercocok tanam hingga terus berkembang sejak ratusan tahun silam

2.    PENDUDUK PENDATANG
Penduduk Banyuasin yang lain adalah warga pendatang. Mereka berasal dari berbagai etnis yakni Jawa, Bali, Sunda, Bugis, Padang, Batak, Lampung, Cina, Komering, Ogan, Lahat, Semendo dan sebagainya. Khusus orang Palembang kadang sering diartikan sebagai bagian dari orang asli Melayu Banyuasin, namun penduduk pendatang yang paling banyak berasal dari Jawa melalui program transmigrasi, selanjutnya dari Sunda, Bali dan etnis Bugis. Pada awal perantauannya, umumnya mereka datang dengan alasan menemukan wilayah tempat tinggal dan mencari pekerjaan dengan cara menjadi pedagang, buruh dan lain sebagainya.
Menurut Bas M. Amin, orang-orang Jawa berdiam di Banyuasin sejak zaman colonial Belanda ketika menjadi kuli perkebunan, menjadi Romusha zaman Jepang dan peserta transmigrasi pada zaman Orde Baru. Khusus perantau Bugis dan Banten sepertinya datang melalui jalur perairan Sungsang, sedangkan perantau dari Padang Sumatera Barat dan Batak Sumatera Utara umumnya masuk lewat jalur
darat untuk berdagang.
Penduduk Banyuasin dikenal mematuhi nilai-nilai kehidupan budaya Melayu Islam. Di berbagai tempat di daerah ini banyak terdapat masjid-masjid dan mushola sebagai bentuk dari peradaban cara beribadah sesuai ajaran Islam yang mereka terima secara turun temurun ratusan tahun silam dari nenek moyangnya. Penduduk asli Banyuasin kami yakini dari suku Melayu Islam Palembang. Banyak bukti-bukti yang menguatkan bahwa orang Palembang datang ke Banyuasin kemudian menetap menjadi penduduk asli, kata Bas M. Amin.
Bas M. Amin mengenang pada saat dirinya berusia enam tahun ketika Belanda masih ada di tanah kelahirannya Pangkalan Balai sudah banyak pendatang dari Palembang, Cirebon Sunda, Ogan Komering Ilir dan Meranjat Ogan Ilir, bahkan sudah ada orang Batak Sumatera Utara dan orang Bugis dari Sulawesi. Para pendatang ini sangat mudah ke Banyuasin karena Pangkalan Balai yang kini menjadi Ibukota Kabupaten Banyuasin dulu menjadi sentral kehidupan perekonomian jalur perairan sungai dan laut bagi daerah lain. Orang dari pedalaman dahulu menjual hasil buminya diangkut gerobak dan sepeda melalui Pangkalan Balai. Orang Sungsang sejak dahulu mendayung perahu menjual hasil tangkapan ikan dan hasil buminya juga ke Pangkalan Balai.
Para pendatang itu kemudian ada yang berdagang kecil-kecilan di pasar kalangan Pangkalan Balai. Mereka berjualan kebutuhan masyarakat sehari-hari, menjadi tukang cukur atau penggunting rambut, tukang solder perabotan dapur dan mengajarkan cara membuat kue dan makanan-makanan enak yang belakangan diketahui merupakan makanan khas Palembang seperti pempek-pempek, burgo, lakso dan lain sebagainya. Zaman kami kecil dulu, kami sudah biasa menikmati masakan seperti opor ayam atau masakan malbi yang sudah lama dikenal di Kota Palembang. Berarti makanan itu sudah lama pula diketahui masyarakat Banyuasin. Soalnya kami sudah biasa makanmakanan seperti itu sejak kecil,” tandas Bas
M. Amin berusia 82 tahun. Bas M. Amin mengaku menimba ilmu pengetahuan awal tahun 1940 di Sekolah Rakyat, satu-satunya di Pangkalan Balai. Ia menjelaskan ada gurunya yang memakai gelar asli Palembang di Pangkalan Balai. Guru itu bernama Haji Kemas Abdul Hamid. Selain itu juga banyak gurunya yang menggunakan nama yang sangat kental dengan nuansa Islam seperti Rozak dan Ahmad Rivai. Nama ataupun gelar yang melekat pada nama-nama seperti ini memang kebanyakan dipakai oleh orangorang Melayu. Pada tahun 1930-an penduduk Banyuasin selain sudah terbiasa menggunakan bahasa asli Banyuasin yang ujung sebutannya “e” di setiap bahasanya, juga sudah terbiasa memakai bahasa Palembang yang ujung sebutannya ‘‘o’’ dalam berkomunikasi sehari-hari. Ini juga menguatkan bahwa antara Palembang dan Banyuasin memiliki akar budaya yang sama memakai bahasa Banyuasin dan bahasa Palembang.
Selain itu budaya Banyuasin juga terpengaruh dengan budaya Palembang. dr. H. Burlian Abdullah, putra asli Banyuasin asal Talang Kelapa, yang pernah menjabat Ketua Ikatan Keluarga Banyuasin (IKBA) Periode 2000 – 2003, menegaskan kultur masyarakat Banyuasin mirip dengan budaya Melayu Palembang. Tradisi pernikahan Banyuasin misalnya sama persis dengan adat istiadat pernikahan di Palembang. Tata cara melamar maupun meminang calon pengantin dan pakaian pengantinnya pun sama.
“Jadi jelas kalau Banyuasin ini kultur budayanya adalah Melayu Islam, tetapi setelah adanya program transmigrasi masuk Banyuasin, peradaban Melayu Islam tetap mereka jaga tetapi mereka beradaptasi menerima suku pendatang lainnya. Inilah salah satu kelebihan lain dari Banyuasin yang dalam kehidupan sosial budayanya selalu menjaga kultur budaya Melayu Islam dan secara sosiologi siap menerima kedatangan suku bangsa lain sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI,” tandas dr. H. Burlian Abdullah, yang tiga periode dari 1978 sampai 1999 menjabat anggota DPRD Tingkat I Sumatera Selatan dari Partai Golongan Karya (Golkar).

3.    ADAPTASI KEMAJEMUKAN
Manifestasi kehidupan penduduk Banyuasin yang sejak lama bisa bertahan lebih terbuka dengan para pendatang karena warganya bersikap menerima budaya luar dan mudah beradaptasi dalam perilaku sosial. Penduduk asli Melayu Islam Banyuasin hidup rukun damai dan bertoleransi terhadap suku pendatang dari manapun. Selain mayoritas penduduknya memeluk agama Islam ada juga yang memeluk agama lain. Kelebihan lain dari Banyuasin dalam sosial budayanya yaitu menjaga kultur budaya Melayu Islam dan pandai menjaga keharmonisan dengan masyarakat pendatang dari suku bangsa lain sebagai bentuk kehidupan yang pandai beradaptasi dengan kemajemukan.
Sikap menerima kedatangan suku bangsa lain ini menunjukkan bahwa warga Banyuasin merupakan penduduk yang bertoleransi tinggi dengan sesama penduduk asli maupun warga pendatang. Warga Banyuasin pun lebih fleksibel pada nilai-nilai budaya yang dibawa oleh para pendatang dari daerah asalnya. Kemajemukan lainnya dalam hal mata pencaharian yang mereka tekuni sebagai petani, nelayan, pedagang, usaha jasa, pegawai negeri atau swasta, anggota Tentara Nasional Indonesia maupun Kepolisian Republik Indonesia.
Bas M. Amin tokoh Banyuasin yang sepuluh tahun bergelut dalam bidang dunia seni dan perfilmam serta jurnalistik di Jakarta dan Jawa Timur sejak 1952 menilai eratnya hubungan sosial budaya antarsuku di Banyuasin yang terjadi sejak dahulu itu terus berlangsung dan menjadi peradaban budaya yang semakin kokoh. Ini dibuktikan dari banyak pernikahan antarpenduduk asli dengan warga suku pendatang yang latarbelakang sosial budaya yang berbeda satu sama lain. Kemajemukan sosial budaya dari beberapa suku ini adalah jaminan harmonis yang selama ini terjalin baik oleh berbagai suku yang ada di Banyuasin.
Sumber: Buku Sejarah, Khasanah Budaya dan Profil Potensi Kabupaten Banyuasin, Cetakan Pertama, 2014. Penerbit: Dinas Pariwisata, Seni Budaya, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan.


Komentar

  1. Gold Strike Casino Hotel & Racetrack - My Property Office
    Located 카 심바 슬롯 in 토토 라이브스코어 the heart of the Gold Strike Valley, just a short drive from mypropertyoffice.com Gold Strike Casino Hotel & 바카라총판모집 Racetrack, our luxurious hotel and casino features luxurious 텍사스홀덤 rooms,

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer